Kamis, 19 Agustus 2021

Nilai Spiritual Busana Baduy Yang Dipakai Presiden Versi Eko Sriyanto Galgendu

Tags

BN Online, Jajarta Utara - 


Sejujurnya saya merasa senang dan bungah melihat Presiden Joko Widodo tampil dihadapan publik dengan mengenakan busana khas Suku Bangsa Baduy, karena saya merasa dan yakin juga punya titisan darah dari para leluhur yang bermukim di Ujung Barat pulau Jawa ini.


Kecuali itu, Presiden Joko Widodo tampaknya hendak mengingatkan pada usia 76 tahun negeri kita Indonesia, masih ada warga masyarakat yang tetap konsisten dengan pilihan cara hidup seperti yang sudah dilakoni secara turun temurun nyaris tidak sedikitpun tergerus oleh gemuruh serta gegap gempitanya budaya yang diusung oleh teknologi paling modern.


Agaknya, itulah yang juga jadi menarik perhatian Eko Sriyanto Galgendu, selaku motor penggerak kebangkitan kesadaran spiritual bangsa Indonesia yang tengah melaju menjemput siklus   tujuh abad untuk bangsa Indonesia memasuki masa kejayaan kembali bagi bangsa nusantara -- yang sudah ditandai oleh jaman keemasan Tarumanegara dan Sriwijaya sampai Kerajaan Majapahi dalam setiap lintasan tujuh abad pertama dan lintasan tujuh abad kedua yang kini sudah masuk pada siklus tujuh abad dari babak ketika sejak awal 21 tahun lalu pada abad ke 21 sekarang ini. 


Sungguhkah dari siklus setiap tujuh abad itu adanya siklus ketiga sekarang ini -- yang telah dimulai pada 21 tahun silam -- sungguh benar bangsa-bangsa nusantara akan kembali menemu masa kejayaan seperti yang pernah diukir oleh Kerajaan Tarumanegara di tanah Pasundan dan Sriwijaya di bumi Sumatra Selatan itu  sehingga kemilaunya sinar Majapahit yang menerangi jagat raya ketika itu bisa kembali terulang ?


Inilah yang jadi mimpi GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang terus menerus digelindingkan oleh Eko Sriyanto Galgendu dan kawan-kawan seperti Mak Wati, Ketua Umum Sindikat Aspirasi Emak-emak dengan Asisten ahlinya Dharmo L. Mertaperwira serta Bagus Mulyono, Ketua  Forum Silaturachmi Ummat bersams sekretarisnya Edhawati yang juga pengasuh utama Pesanstren Manula Indonesia  di Sukabumi Jawa Barat.


Busana suku bangsa Baduy yang sangat ugagai itu, menyentak GMRI sedang memulai mengarahkan pergerakannya membangun kebangkitan kesadaran spiritual bangsa ke wilayah Jawa Barat, sungguh terpukau saat menyaksikan tampilnya  Presiden Joko Widodo dalam upara resmi kenegaraan pada peringatan kemerdekaan RI ke 76 di hadapan publik dengan mengenakan busana adat yang juga menjadi pakaian sehari-hari suku bangsa Baduy yang sungguh ritmis spiritualistik itu, jadi sangat  menarik.  Khusus bagi Ketua Umum GMRI yang spontan  mengapresiasinya dengan penuh rasa haru dan suka cita yang cukup mendalam.  Karena busana itu bagi suku bangsa Indonesia, kata Eko Sriyanto Galgendu memiliki nilai filisofis sekaligus cermin dari kepribadian yang yang jujur, bersahaja, ikhkas, serta sikap yang diiringin oleh laku dan perbuatan dalam segenap tindakan yang selaras dengan alam serta hati nurani yang bergetar dari rasa kemanuiaan. Jadi bukan sepertib kamufkase untuk memperdaya siapa saja yang melihat maupun bersentuhan dengan yang bersangkutan.


Paduan busana yang harmoni itu sungguh pas diimbangi oleh Wakil Presiden, Kyai Haji Ma'ruf Amin yang mengenakan busana adat suku bangsa Mandar yang dikenal sagat Islamis dan  religius. Namun dibalik tampilan busana yang syarat memiliki nilai filofis itu, sungguhkah ekspresi dari kesadaran spiritual bangsa Indonesia yang memiliki potensi dan energi besar dari kandungan spiritual seperti yang ada dalam suku bangsa Baduy dan Suku Bangsa Mandar itu sungguh ingin dijadikan energi spiritual bagi segenap warga bangsa  Indonesia ?


Bukan sekedar benjadi asesoris pemantas belaka saar upacara dan ragam serimoni saja. Begitulah mimpi GMRI, tandas Eko Sriyanto Galgendu yang sudah melakoni laku spiritual sejak masih "ngangsu kauruh" di Solo tempat kelahirannya bersama Sinuhun Paku Bowono XII dan Gus Dur yang  meninggalkan wasiat penting pada dirinya.


Sejauh jangkauan pengetahuan dan pemahaman dari busana suku bangsa Indonesia pada umunya, kata Eko Sriyanto Galgendu, sungguh diyakini sebagai bagian yang tidak terpisah daripada sikap dan sifat orang yang mengenakannya. Seperti pakaian suku bangsa Baduy yang khas itu -- jelas  melukiskan kepribadian suku bangsa Baduy yang polos, ikhlas, bersahaja, jujur dengan apa adanya -- bahkan agak lebih teresan ekstrim -- anti barang maupun makan-makanan yang mewah. Begitulah ekspresi dari suka cita pilihan warna hitam. Polos dan sederhana, tidak kotak-kotak, apalagi ditingkahi dengan warna-warni yang menggambar  kegamangan dan kegundahan hdan siapa saja yang mengenakannya.


Presiden Joko Widodo hadir dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 16 Agustus 2021 dengan busana adat kebesaran suku bangsa Baduy. Mungkinkah kandungan filosofis busana adat yang sakral dikenakan dalam keseharian suku bangsa Baduy itu bisa diterapkan dalam keseharian saat menjalankan roda  pemerintahan untuk menunaikan amanah rakyat ?


Lalu adakah dari pengenaan busana suku bangsa Baguy itu bukan karena gagap memahami keberadaan suku bangsa Baduy itu yang kekeh memagari budaya suku bangsanya, sehingga tak gagap pula dalam perkembangan teknologi yang telah melompat jauh pada revolusi babak keempat (4.0) seperti yang dibanggakan oleh generasi milineal pada abad ke-21 sekarang ini ?


Atau semacam upaya mencari perlindungan dari kekalahan yang terus terdesak --nyaris kalah -- akibat sergapan pandemi  Covid-19, hingga panik mengharap kekuatan imunitas seperti yang dimiliki suku bangsa Baduy dengan segenap kepiawaiannta melestarikan dan menjaga harmoni alam berikut lingkungan hidup serta budayanya ?


Kalau pun secara fisik semua itu tak mungkin dapat dilaksanakan, toh  dalam implentasi filosofisnya tetap ideal untuk terus diperjuangkan dan diimplementasikan supaya dapat mengikuti jejak ketulusan, kejujuran serta kebersahajaan suku bangsa Baduy yang  menganut paham hidup sederhana. Sebab suku bangsa Baduy sungguh tulus dalam berbuat, jujur bersikap serta ikhlas dalam berkata yang selalu diikuti oleh  perbuatan nyata. Meski saya sendiri pun sangat  terkejut oleh perhatian khusus Eko Sriyanto Galgendu, yang juga merasa penasaran, adakah wakil dari suku bangsa leluhur saya itu juga ikut diundang untuk sekedar mencercap nikmat kue ulang tahun dari perayaan usia ke 76 tahun negeri tercinta ini. Atau, memang sudah dianggap cukup mengikuti semua rangkaian serimoni itu  lewat siaran radio yang lamat-lamat dan sayup terdengar, karena memang vibrasi getaran dari frekuensinya mungkin hanya ada dalam dimensi spiritual saja.


Dirgahayu negeri dan bangsaku


Jacob Ereste.

Banten, 17 Agustus 2021