Selasa, 13 Februari 2024

Atas Nama Demokrasi (Siluman Amplop) Dalam Bingkai Politik Yang Carut Marut

Tags


BN Online Bantaeng,--Salah siapa, dan dosa siapa kata seorang pada ustas di sebuah ruang diskusi. Ustas bingung jawab apa. Akhirnya dalil terhampar tetapi merasakan hambar. Demokrasi terkapar di tengah belantara perjalanan politik dan demokrasi,  dari lorong hingga ke pinggir jalan. Sebuah ulasan dan alasan bahwa ini hanya sedekah  pemberian, bukan sogok. Pemberi amplop berlalu tanpa permisi,  cengar-cengir misi telah berjalan. 


Minimnya ide, gagasan. Jalan lain ditempuh.  dan selipan amplop adalah cara yang ampuh.   sepertinya cukup jitu. Salah satu kreaiftias yang tidak berkualitas. Demi dukungan suara, caleg tunggang langgang menjadi tukang pencari dan  sapu suara.  


Di ruang lain bagai petarung bebas,  adu rayu  dengan kompilasi, janji dan transaksi.  Banyak amplop bersebaran. Transaksi di depan mata. Kita diam dengan segala kepengecutan. Masyarakat menuai panen di musim pesta politik sekali dalam lima tahun kapab lagi. Adakah caleg? Seseorang berteriak di ujung  lorong. Bersahutan,  riuh menawarkan pilihan dengan harga sesuai. 


Akhirnya lebur demi asap dapur dari kultur, lingkungan masyarakat, telah  terbiasa dan  menjadi sindrom akut. Meskipun para kontestan  Jauh dari ekpestasi dan prestasi.  Antara survei dan manuver apik setiap konstestan politik. Sebuah  implikasi telah berjalan dengan intimidasi, membangun narasi dengan mantra visi-misi penuh manipulasi. 


Salah siapa? Pertanyaan itu lagi. Pembiaran, kebiasaan!   atau entah apalah namanya. Ini realita , melata hingga depan mata. Tatkala hukum dikulum, saat etik berubah "trik/taktik". Nurani  telah tergadai.  Tanpa peduli yang strata sosial, pendidikan. Semua  larung terkepung dalam sebuah tempurung yang sama.  


Demokrasi yang kebablasan. Tersisa hanya serpihan integritas, dijamah oleh para elit. Seperti kata Seorang peneliti LIPI Siti Suhra bahwa  para elitlah yang beperan mundurnya sebuah nilai demokrasi. Dengan demikian para kontestan ini kehilangan identitas dan kualitas untuk menjadi seorang pemimpin dan wakil atas nama rakyat.  


Di tema yang sama pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tony Rosyid, menambahkan, pembagian amplop untuk serangan fajar merupakan penyakit sejak dulu. Saya kemudian berinajinasi. Tetapi terlanjur nasi menjadi bubur. Demokrasi di tepi jurang.  Seraya membawa kita sebatas berhalusinasi untuk sebuah upaya tipu daya kesejahteraan dan penuh janji-janji manis. 


Teringat judul film perjuangan tahun delapan puluahan "serangan fajar".  Apakah itu  peristiwa di antara fajar dan pagi, para pejuang bertarung demi harga diri bangsa. Di situasi ini  para siluman menyelinap menukar receh pilihan, berjuang demi elit, tetapi mengibuli masyarakat. Masyarakat  ikut alur; Rezki nomplok katanya. Datang tak diundang pergi tak diantar.  Mereka tidak peduli nurani dan harga diri terjual murah hanya  sehari. Sementara para siluman amplop,  berlalu pergi misi telah terlaksana.

 

Demokrasi  belum terkonsolidasi yang ciri-cirinya, seperti di kutip di lamam detikNews. Bahwa demokrasi bisa berjalan dan berproses dalam masa waktu yang lama, ada penegakan hukum berjalan baik, pengadilan yang independen, pemilu yang adil dan kompetitil serta  civil society yang kuat, hingga terpenuhinya hak-hak sipil ekonomi, dan budaya warga negara.


Sementara budaya hanya hadir sebagai ruang populis yang  pragmatis. Padahal di sana ada tatanan kemanusiaan, ideologi, integrasi sosial, pengetahuan, imajinasi, ide gagasan, hamparan solusi.Dalil agama menggema, tetapi sama saja. Elit dan masyarakat pula sudah menjalin  kontrak romantisme politik, nego, tawar menawar harga tancap gas. 


Begitu rawan, serta  krusial. Sebab absennya masyarakat sipil yang kritis, kalaupun ada itu juga sepertinya hanya segelintir. Atau  buruknya kaderisasi partai politik tanpa melihat kualitas kader. Ditambah masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban (kesadaran etik/diri) masyarakat,  masalah pelanggaran berlalu dihadapan kita semua. Ini persoalan dan permasalahan yang sudah basi di  masa lalu.


Sambil menikamti suasana tenang dengan secangkir kopi. Berharap esok yang menang senang, yang kalah tetap tenang.  Sesekali mengingat, perjalanan demokrasi bangsa besar ini, dalam sebuah perjalanan panjang sejarahnya dengan  tiga peristiwa orde. Menghiasi parade peradaban permasalahannya. Kelak mampu keluar dalam krisis demokrasi dan krisis sosial. Bangkit menuju capaian cita dan mimpi bersama, sebagai negara berkemajuan bersaing dengan negara lainnya. Bukan antipati, saling mengurai kritik berbau hujatan, tetapi menawarkan  solusi bukan ilusi.  


Kopi sore kali ini sisa setengah, beberapa seduhan dan seruput saya hampir luput. Kecemasan tetiba hadir!Apa yang harus diceritakan dalam jejak demokrasi pada  generasi, yang kelak akan melanjutkan, jika proses awal demokrasi secarut marut ini?


Penulis : Dion Syaif Saen

Editor Edhy Bidik Nasional