Senin, 18 Januari 2021

Keadiln Dalam UU ITE

Tags

 


BN Online, Surabaya--Undang-undang (UU), Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Semestinya menghasilkan kemanfaatan hukum, selain kepastian hukum dan keadilan hukum. Bukan sebaliknya, justru malah "memakan korban". 


Beberapa "korban" diantaranya, yang diviralkan Penggiat (Aktifis) media sosial (Medsos). Mulai dari kasus seorang ibu yang “mengkritisi” pelayanan rumah sakit, kasus Dosen yang mengkritisi kebijakan pimpinannya, kasus "ibu guru” yang diduga mendapat perlakuan kurang etis dari pimpinannya dan kasus seorang ibu yang dilaporkan karena menagih hutang via Medsos dan seterusnya. 


Dalam kasus ibu penagih hutang yang dilaporkan ke Kepolisian (dibuatkan, LP) oleh pihak yang berhutang tersebut, hasil akhirnya diputus bebas oleh Hakim. Dalam kasus tersebut, Penulis sepakat putusan Hakim tersebut adil. 


Putusan kasus tersebut, dan narasi ini. Sekaligus menjawab berbagai pertanyaan masyarakat yang awam hukum, khususnya Netizen di Medsos. Serta mengakomodir aspirasi, yang disampaikan kepada Penulis. Terkait kasus-kasus dugaan “ketidakadilan” terhadap “korban” dari eksekusi khususnya UU ITE seperti tersebut, dan yang terkait lainnya.


Terkait pasal tentang, mulai dari hoax, komplain (“kritik”) dan hak membagi (share) "keluhan", dan fitnah sampai dengan pencemaran nama baik dan seterusnya. Yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum, mulai dari; penyelidikan-penyidikan Kepolisian (pemeriksaan saksi, gelar perkara dan putusan tersangka), penuntutan Jaksa (P.21) dan persidangan Hakim (di Pengadilan) terkait kasus tersebut. Semestinya aplikasi atau implementasi (praktinya), seperti yang kita harapkan dan penulis jabarkan tersebut dibawah. 


Pertama, pihak yang menuduh terlebih dahulu wajib membuktikn tuduhannya, misalnya;  apa yang dituduhkan ? yang dituduhkan wajib jelas, tegas dan bekepastian atau tidak meragukan (tidak bermakna, atau tidak memiliki pengertian lain) dan seterusnya. 


Kedua, tuduhan tersebut memenuhi asas legalitas atau ada dasar hukumnya apa tidak ? (aspek formal-legalnya, wajib terpenuhi).


Ketiga, diksi dugaan, berarti bukan tuduhan. Dan kalimat pertanyaan atau mempertanyakan (question), bukan anggapan (bukan, persepsi) atau bukan pernyataan (bukan, statemen). Artinya pihak terlapor atau terperiksa (tersangka), memberi kesempatan pihak pelapor menjelaskan.


Keempat, tidak menyebut identitas seseorang-siapapun secara langsung terbuka terang-terangan atau apa adanya (nyata-nyata). 

 

Kelima, pihak pencari keadilan, dapat membuktikn bahwa yang dimaksud tidak secara spesifik. Tapi secara umum, seperti yang berlaku selama ini. Dan seperti yang dilakukan media serta dilakukan oleh para Penggiat (Aktfis). Juga dilakukan oleh Lembaga (Institusi) berwenang terkait, misalnya Lembaga anti (kontra) tindak kejahatan (kriminal) dan seterusnya. Dalam pemberitaan, edukasi serta "kampanye" dan yang terkait lainya. 


"Yurisprudensi" atau presedenya (sebagai dasar, dan konsekuensi hkum), jika itu semua dianggp fitnah, penistaan dan pencemarn nama baik. Dalam hal ini jika dianggap termasuk perbuatan “kriminal” atau tindak kejahatan (delik, pidana). Seperti yang selama ini dan kita semua sama melakuknya, maka kita semua juga sama wajib dipidana.


Keenam, pihak pencari keadiln tersebut memiliki hak, karena dirugikan secara materiil-imateriil. Dan tidak mendapatkan keadilan, selain dengan upaya tersebut.


Ketujuh, tidak ada niat jahat (mens rea) dan tidak ada perbuatan sengaja melanggar (actus reus), tetapi sebaliknya hanya kritik-peringatan keras saja serta diberikan solusi dan seterusnya. 


Kedelapan, memenuhi unsur  melawan hukum atau dengan sengaja nyata-nyata melanggar hak atau merugikan orang lain apa tidak ? (memenuhi semua unsur, tersebut diatas).


Kesembilan, yang dituduhkan adalah realita-fakta atau kenyataan yang  terjadi, ada bukti-bukti serta kesaksian, dan yang terkait lainya. Bukan anggapan subyektif, menurut perasaan-pikiran yang menuduh.


Kesepuluh, setelah itu semua terpenuhi. Nantinya makna-pengertian yang dituduhkn tersebut, wajib dibuktikan dipengadilan oleh ahli bahasa.


Tetapi sebaliknya jika terkait pemberitaan atau jurnalistik (pers), semestinya diselesaikan dengan UU tentang Pokok Pers dan diselesaikan melalui Dewan Pers serta secara mekanism, prosedur dan proses aturan-ketentuan yang berlaku dalam jurnalistik.


Atau jika terkait, kebebasan mimbar akademik, demokrasi dan hak asasi manusia dalam masyarakat kampus dan seterusnya. Semestinya ada perlindungan hukum, didasari tradisi akademik (nilai-nilai, norma, kaidah ilmiah serta kode etik dan seterusnya), serta diselesaikan terlebih dahulu di Lembaganya.


Sesuai projustitia demi kebenaran-keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Kuasa dan UU bantuan hukum, dalam kesempatan ini kami berharap kepada kolega-kolega Pengacara-Advokat. Dapat memberikan bantuan hukumnya terutama secara probono dengan layanan prodeo, kepada pihak-pihak yang membutuhkan serta kurang mampu dan yang terkait tersebut.


Sebaliknya jika yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, atau pihak yang dituduh dapat membuktikan bahwa yang dituduhkan tidak berdasar serta tidak benar dan seterusnya. Maka pihak yang menuduhlah, yang memfitnah atau mencemarkn (dan dapat, dilaporkan balik).


Untuk lebih jelas-tegas-berkepastian, guna kebenaran-keadilan.  Berikut ini beberapa Pasal, yang sering atau umumnya (biasanya) digunakan dalam kaitan kasus tersebut diatas.


Pertama, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Tentang, siapapun-setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak. Dilarang mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik, yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.


Kedua, Pasal 28 ayat 1 UU ITE. Tentang, "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak. Dilarang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik".


Ketiga, Pasal 45 ayat 1 UU ITE. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar, rupiah).


Ketiga, Pasal 310 dan 311 KUHP tentang fitnah dan pencemaran nama baik.


Semoga narasi tersebut ini dapat meminimalisir "korban", akibat tuduhan pihak yang menggunakan Pasal-pasal khususnya dalam UU ITE tersebut diatas. Sekaligus harapan jangan sampai UU termaksud tersebut diatas, menjadi alat otoritarian kekuasaan, pembungkam demokrasi dan merampas hak asasi manusia dan seterusnya.


Fiat justitia ruat caelum”, salam revolusi hukum dan reformasi pendidikan tinggi hukum-berlandaskan Pancasila serta bela negara.


Oleh :

Panggung Handoko, SH. S.Sos. MM.