Senin, 17 April 2023

Demi keadilan dan Kepastian Hukum Sina Prayoga, S.H Mengharapkan DPR dan Mahkamah Agung Tidak Biarkan Dualisme Yurisdiksi di Aceh.

Tags

Demi keadilan dan Kepastian Hukum Sina Prayoga, S.H Mengharapkan DPR dan Mahkamah Agung Tidak Biarkan Dualisme Yurisdiksi di Aceh.
BN Online ; Aceh Tengah-Sina Prayoga, S.H Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Aceh Tengah IPPEMATA-Banda Aceh mengharapkan Baik Lembaga Legislatif Daerah (DPRA) atau Pusat (DPR-RI) dan Lembaga Yudikatif Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia untuk Tidak Membiarkan dan Pandang Sederhana Dualisme Yurisdiksi yang terjadi di Provinsi Aceh.
Dualisme Yurisdiksi adalah keadaan dimana terdapat dua lembaga Peradilan di wilayah hukum yang sama dan mengadili sengketa hukum yang Sama, dan memiliki hak atau kekuasaan untuk menentukan atas mengambil Kebijakan dalam rangka penyelenggaraan peradilan, sehingga menimbulkan tumpang tindih kekuasaan. Sengketa wewenang mengadili antar Lembaga Pengadilan disebut dengan geschillen over competentie.
Sina menyebutkan Dualisme Yurisdiksi di Aceh dalam mengadili perkara Jinayah/Pidana, menimbulkan konflik kewenangan mengadili antar dua lembaga peradilan yaitu Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Aceh yang jelas merupakan kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum.
Pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 Ayat 1 menyebutkan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan akan tetapi terjadinya dualisme yurisdiksi ini tidak menghargai UUD 1945 karena tidak menghadirkan keadilan dan juga tidak menegakkan hukum, kenapa dikatakan demikian karena adanya Disparitas Putusan Hakim atau perbedaan takaran putusan hakim yang terjadi terus-menerus dan tidak ada kepastian hukum terhadap kasus jinayah di Aceh yang tidak boleh terjadi sebagaimana melirik adigium Hukum "Ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum).
Dualisme Yurisdiksi terjadi dikarenakan adanya dua Regulasi yang mengatur kewenangan mengadili ada pada Dua Lembaga peradilan di Aceh yaitu Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri. Dampaknya bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat pencari keadilan dan dapat tidak terwujudnya Asas Kepastian Hukum, Asas Keadilan, Asas Kemanfaatan Hukum dan Asas Kesamaan dimata Hukum.
Sina juga Memaparkan salah satu contoh bahwa telah terjadinya Dualisme Yurisdiksi di Aceh yaitu pada kasus Jinayah Yang Terjadi di Wilayah Hukum Kabupaten Aceh Tengah seperti dalam putusan 10/Pid.Sus-Anak/2020/Pn Tkn Pengadilan Negeri Takengon yang mengunakan Pasal 81 Ayat (2) dengan dasar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana kewenangan Mengadili ada Pada Pengadilan Negeri Takengon.
Dan disisi lain Mahkamah Syar’iyah Takengon juga mengadili kasus Jinayah yang bentuk Deliknya Sama pada putusan Nomor 3/JN.Anak/2020/MS, yang mengunakan Pasal 50 Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat jo UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak kewenangan Mengadili ada pada Mahkamah Syar’iyah Takengon.
Adanya dua dasar hukum yang dapat digunakan oleh Kejaksaan di Aceh dalam Kasus Jinayah atau Pidana Yaitu Qanun Jinayat/Qanun Hukum Acara Jinayat pada Mahkamah Syar'iyah Dan KUHP/KUHAP pada Pengadilan Negeri yang menyebabkan terjadinya Dualisme Yurisdiksi.
Adanya dua putusan yang berbeda dari segi sanksi. Keadaan tersebut jelas akan menimbulkan disparitas pidana dan berakibat fatal pada terpidana yang setelah memperbandingkan sanksi pidananya kemudian merasa menjadi korban kesalahan peradilan “the judicial caprice” akan menjadi pidana yang tidak menghargai hukum. pertama, bisa menimbulkan Ketidakpercayaan terhadap lembaga pengadilan. Kedua, terjadi rasa Ketidakpuasan karena diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang Lainnya atau Disparitas pada Putusan Hakim. Ketiga, kemudian Memunculkan rasa ketidakadilan. Keempat, menimbulkan kebencian Kepada sistem, khususnya kepada lembaga pengadilan. Kelima, dapat Menimbulkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System.
Sementara itu Sina juga menyebutkan pandangannya bahwa kasus Jinayah seharusnya oleh Kejaksaan dilimpahkan ke Mahkamah Syar'iyah karena mengacu pada Surat Edaran (SE) Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-2/E/Ejp/11/2020 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dengan Hukum Jinayat Di Provinsi Aceh, pada saat pelimpahan berkas perkara Jaksa Penuntut Umum (Jaksa Peneliti Berkas Perkara) sedapat mungkin memberikan petunjuk untuk menerapkan Qanun Jinayat jika perbuatan melawan hukum tersebut telah diatur didalam Qanun Aceh dan mengacu juga pada keputusan Mahkamah Agung Nomor KMA/070/SK/X/2004, yang pada pokoknya pelimpahan sebagian kewenangan dari Peradilan Umum di Provinsi Aceh kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh yaitu perkara-perkara dibidang Mu’amalah (Perdata) dan Jinayah (Pidana) bagi subjek hukum yang beragama Islam dan perkara-perkara yang telah ditetapkan di Qanun Aceh. Dan Qanun adalah Peraturan Daerah untuk melaksanakan Otonomi Khusus yang dapat mengenyampingkan Peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogat legi generalis yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Qanun adalah Peraturan Daerah yang digunakan untuk pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Aceh. Mestinya dengan kekhususan Aceh yang ada Mahkamah Syar’iyah di Aceh juga sudah bisa mandiri mengadili tanpa di adili di Pengadilan Umum yang bisa menyebabkan disparitas pada putusan hakim.
Oleh karena itu Sina Berharap kepada Pemangku kebijakan dalam hal ini Lembaga Legislatif baik Daerah (DPRA) atau Pusat (DPR-RI) dan juga Berharap ada Atensi dari Mahkamah Agung RI Terhadap Dualisme Yurisdiksi yang terjadi di Wilayah Hukum Provinsi Aceh ini untuk melakukan Reformasi dan Perbaikan terhadap Hukum atau Yurisdiksi di Provinsi Aceh demi terwujudnya Provinsi Aceh yang Berkeadilan Hukum.

Penulis : Aharuddin.
Editor    : Riga IrawanToni