BN Online Bantaeng,– Ekspansi Alfamart dan Alfamidi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, memicu polemik. Di balik kemudahan berbelanja yang ditawarkan, minimarket modern ini dikritik karena dinilai mengancam "gulung tikar" usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal, khususnya warung-warung tradisional.
Pertumbuhan pesat kedua minimarket ini beroperasi di bawah payung hukum yang kompleks, mulai dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan hingga Peraturan Daerah (Perda) tingkat kabupaten.
Namun, implementasi Perda yang mengatur jarak pendirian minimarket dengan pasar tradisional atau permukiman dinilai lemah. Banyak warung tradisional mengeluhkan persaingan yang tidak seimbang, kalah bersaing dengan minimarket yang memiliki keunggulan kompetitif dalam hal modal, manajemen rantai pasok, dan promosi.
"Bagaimana kami bisa bersaing? Mereka punya stok lengkap, dingin, tempat bersih, sering ada diskon besar. Pembeli sekarang lebih suka yang praktis," ungkap seorang pemilik warung di Bantaeng yang merasakan penurunan omzet drastis sejak kehadiran minimarket modern di dekat usahanya.
Mas'ud, SH, CMLC, seorang putra daerah yang baru kembali ke Bantaeng, menyoroti menjamurnya gerai Alfamart dan Alfamidi yang berdekatan satu sama lain.
Mas'ud mendesak pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk meninjau kembali Perda terkait perizinan, zonasi lokasi, dan jam operasional kedua minimarket tersebut.
"Penting untuk ditinjau perdanya, jika perlu direvisi, membatasi dan mencabut izin operasional gerai yang terbukti melanggar zonasi lokasi," tegas Mas'ud.
Mas'ud juga menekankan perlunya evaluasi serius terhadap dampak regulasi terhadap ekspansi ritel modern.
Penegakan aturan mengenai jarak gerai, kemudahan akses pasar bagi produk UMKM, pengawasan kondisi ketenagakerjaan, dan penciptaan iklim persaingan usaha yang lebih adil menjadi hal krusial.
Mas'ud khawatir, tanpa langkah korektif, kemudahan berbelanja yang ditawarkan Alfamart dan Alfamidi akan berdampak pada hilangnya kedaulatan ekonomi rakyat di Bantaeng.