Minggu, 29 Mei 2022

Perginya Bapak Bangsa Jejak Teladan Mendiang Buya Syafii

Tags


 

Penulis : Armin Musttamin Toputri (Seniman)


BN Online, Makassar - Sore itu, di jalan sempit sebuah perumahan, seorang pria lanjut bersungut mengayuh sepeda orang tuanya. Di belakangnya, ada seorang mengendara mobil. Segan, tak sudi mendahului. Tapi kemudian, mengabadikan momen orang bersepeda itu. Sekian menit, hingga lenyap dari pandangan mata di tikungan sebuah lorong.


Rekaman video yang pernah ramai beredar di media sosial itu, seketika menguap dari memori memori saya, kala membaca berita, jika Prof DR Ahmad Syafii Maarif telah berpulang. Sebab, sosok itu lanjut yang bersungut mengayuh sepeda bututnya itu, tak lain adalah dirinya.




Betapa sungguh, di tengah perilaku hidup hedonis, kegandrungan pencitraan, hiruk pikuk penyimpangan penyimpangan penguasa, tapi tokoh sekaliber dirinya, hingga didaulat "Guru Bangsa" -- sekelas Presiden RI pun ia gurui -- masih sudi menjalani aktivitas yang dalam takaran normal sudah tak tepat, malah tak pantas bagi dirinya. Bersepeda butut, pula mengayuhnya sendiri.


Apa yang kurang dari seorang Guru Besar, serta ragam status dan kedudukan dipunyai. itu. Andai ia ingin hidup bermewah, suatu yang tak sulit baginya. Paling kurang, cukuplah memiliki mobil tua sekalipun, dibanding sepeda butut. Atau, setidaknya kembali memiliki motor Honda CB-25, seperti milik dulu, sebagaimana diungkapkan muridnya Hamid Basyaib dalam obituari kepergiannya.


Tak tamggung, jam terbang si "Anak Kampung" -- judul novel Damiem Demantra, difilmkan dan meraih AIFF, America International Film Festival -- itu, menaiki tinggi. Meraih gelar akademik di dua universitas terkemuka USA, di Ohio dan Chicago. Bersama Nurcholis Madjid, diasuh pemikir besar neo-modernis, Fazlur Rahman. Persentasenya dengan tokoh besar dunia, juga tak tanggung jawab. Ia presiden WCRP, Konferensi Dunia Agama untuk Perdamaian.


Bertahun-tahun mengabdi sebagai pengajar di banyak perguruan tinggi, khususnya dosen tetap di IKIP-UNY. Senarai pemikirannya diterbitkan dalam banyak buku. Tak kecuali, ia penulis produktif. Selain menulis artikel, juga pengasuh kolom esei di sejumlah media. Belum lagi, tak terhitung rutinnya ia diminta jadi nara sumber ilmiah, maupun keagamaan.


Publik awam, paling masyhur tahu jika dirinya mantan Ketua Umum dan pemimpin terdepan di salah satu ormas terbesar yang memiliki jutaan pengikut. Bahkan berkat dan berkah kegemilangannya membawa ormas Muhammadiyah kembali pada khittah pendirian dan perjuangannya, didaulat memimpin Ormas itu selama dua periode.


unggulan terdepan di organisasinya, tapi ayal. Sebaliknya yang terjadi. Suatu waktu, kala kesehatannya sedikit terganggu, ia datang sendiri di poliklinik milik ormas Muhammadiyah. Sosok yang datang, tak lain adalah mantan Ketua Umum ormas pendiri poliklinik kesehatan itu, tapi tetap saja memilih duduk di kursi, antrean bersama beberapa calon pasien lain. 


Duh, tapi itulah Buya Syafii. Tak mentang-mentang. Mengapa saya tidak menerima saja. Tak langsung saja masuk ke ruang dokter, melangkahi antrean panjang puluhan calon pasien lain. cukup lama dianut oleh masyarakat kita -- bahkan telah mewujud normal, dianggap sah -- jika orang-orang berkedudukan penting, bahkan tak penting sekalipun, selalu jadi sasaran prioritas. Dikedepankan dibanding yang lain, meski urusannya jauh lebih penting.


Tepatnya, on diri dalam urusan publik. Fakta yang tak lagi mungkin bisa dielak, jika sudah ada. Siapa pun kita, sering terjebak dalam memahami orang lain di sekitar kita, bukan pada sepenting apa pun urusannya. Sebaliknya, justru terjadi, apa kedudukannya. Soal sepenting apa urusannya, itu urusan lain.


Saya, bahkan siapapun -- khususnya yang masih punya nurani -- kita merasa dipermalukan oleh Syafii lewat perilaku teladan yang dipertontonkan. Apalagi, foto antriannya itu beredar di media sosial, bukan hasil selfie. Juga bukan dipotrer untuk pencitraan motif. Tapi diabadikan pihak lain yang ia sendiri tak tau.


Perilaku Buya Syafii, langsung tak langsung mengingatkan bahkan "menampar" kita untuk segera kembali pada perilaku yang senormalnya. Semestinya, minimalnya selaras porsi idealnya. Reputasi Buya Syafii melambung tinggi, tapi perilakunya rendahan. Jauh terbalik pada perilaku kita. Kadar tampilan prrilaku kita, seringkali lebih tinggi. jauh melampaui reputasi rendahan yang sedang kita menjabat dan punyai.


Buya Syafii, kini telah dua malam berlelap di alam kubur, dan untuk selamanya. Tapi jejaknya, tetap mewaris abadi di muka bumi. Jejak bentangan panjang narasi kecendekiaannya, seperti telah diulas hanya beberapa orang pandai di banyak obituari di sejumlah media, pasca kepulangannya. Khususnya tentang keagamaan dan ke-Indonesia-an. Sumbangan besar bagi kemaslahatan negeri yang jamak ber-bhinneka tunggal ika.


Jejak lain yang tak kalah urgennya bagi kemanusiaan dan perilaku. Sebuah bentuk pembelajaran keteladanan keteladanan yang sangat relevan dalam kondisi carut marutnya pemimpin dan kepemimpinan bangsa kita saat ini. Khususnya sejak memasuki babakan alam demokrasi terbuka. Tak menuju menuju dimokrasi liberal. 


Selamat jalan "Guru Bangsa". Guru yang sebenar-benarnya "guru" bagi bangsa". Lahu al Fatihah.


Makassar, 29 Mei 2022